Selasa, 26 Maret 2013

JALUR SEPEDA

KSI Magelang Minta Dibuatkan Jalur Khusus Sepeda

MAGELANG, Komite Sepeda Indonesia (KSI) Magelang mendesak Pemerintah Kota Magelang agar jalur lambat di Jalan Pemuda (Pecinan) yang sedang dalam proses renovasi, nantinya bisa dilintasi untuk pengguna sepeda angin dan becak. Hal tersebut menurut Ketua DPC KSI Magelang, Muh Hasan Suryoyudho, sebagai bukti dukungan pemerintah terhadap pola hidup sehat yang saat ini sedang gencar digalakkan.
Selain itu, lanjutnya, saat ini sudah mulai banyak masyarakat yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi maupun hobi. “Penataan itu memang bagus untuk estetika Kota ke depan, tapi kami meminta agar tetap ada jalur khusus untuk pengguna sepeda,” kata Hasan yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Magelang tersebut, Minggu (16/10) kemarin.
Hasan mengatakan, Pemkot telah merespon aspirasi tersebut. Dan Pemkot juga telah berjanji akan membuatkan jalur khusus bagi pengguna sepeda di Kawasan Pecinan.
Plt Kepala DPU Kota Magelang, Agus Susatyo menjelaskan, bahwa pihaknya telah merubah beberapa gambar desain penataan Kawasan Pecinan. Berupa penempatan jalur sepeda di bagian tengah antara toko-toko dan tempat berjualan PKL (pedagang kali lima). Sementara PKL di Pecinan yang selama ini menempati bagian antara satu toko dengan toko lainnya, akan dipindahkan di sisi barat.
“Antara toko dan PKL akan berhadap-hadapan. Semoga bisa lebih rapi, tidak berjubel seperti sekarang ini yang menghadap ke barat semua,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, pihaknya telah merubah disain penataan Kawasan Pecinan. Antaralain dengan menambah lengkung besi dari stainless setinggi sekitar 10-20 centimeter, yang terhitung tiga meter dari kanstin sisi barat. Lengkung besi tersebut akan membatasi daerah yang bisa digunakan PKL untuk berjualan dan jalur sepeda.
Walaupun ada jalur sepeda, namun ia tetap menghimbau jalan tersebut tidak digunakan pada malam hari. Alasannya karena Kawasan Pecinan tersebut direncanakan akan menjadi kawasan yang bisa dimanfaatkan sebagai wisata kuliner pada malam hari. “Kalau jalannya sedang digunakan orang untuk jalan-jalan menikmati suasana malam, kok ada sepeda yang lalu lalang, tentunya jadi tidak enjoy,” ujarnya.
Wakil Ketua Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Kosti) Jateng, Bagus Priyatna, juga mendesak agar Pemkot Magelang untuk menyediakan jalur sepeda yang aman, nyaman, bersahabat dan humanis. Karena sesuai amanat Pasal 36 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Umum, harus mencantumkan hak-hak bagi pengguna sepeda.
Pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas. “Jika jalur sepeda ditiadakan, maka Pemkot Magelang telah melalaikan amanah UU, dalam memenuhi hak pesepeda.  Bahkan dalam Kongres  sepeda Indonesia pada Bulan Juli 20101, telah merekomendasikan agar pemerintah segera merealisasikan  jalur khusus sepeda,” kata Bagus.(had)

Wartawan Thailand Korek Borobudur Magelang



Wartawan Thailand Korek Borobudur Magelang

MAGELANG,  Enam wartawan dari negara Thailand yang terdiri dari tiga media koran dan tiga majalah melakukan ekspose tentang situs-situs Candi Borobudur dan potensi kearifan lokal yang ada di sekitarnya.

Bhiva Tour PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (PT TWCBPRB), Inong Puteri kepada Tribun Jogja menjelaskan bahwa kedatangan para jurnalis muda ini ke Indonesia adalah atas undangan dari PT TWCBPRB untuk melakukan ekspose tentang keunggulan wisata budaya terutama tentang situs Buddha dan Hindu yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya.

"Kita berharap mereka bisa mempublikasikan potensi yang ada di sini, khususnya perihal kebudayaannya," katanya.

Keenam jurnalis muda tersebut tiga di antaranya dari media koran adalah Yanapon Musiket (Bangkok Post), Budsharakham Sinpalawan (Nation), Athicha Chuenjai (Baily News). Sedangkan tiga lainnya dari media majalah adalah Pornpat Ratanapinanchai (Barefoot), Wanwanach Tuamsomboon (Anywhere), Akkarin Satitpatanapan (Lifestyle + Trafel).

Menurut Inong, para jurnalis muda dari Thailand tersebut cukup kritis terutama saat masuk ke Kraton Yogyakarta. Mereka kata Inong, sempat menanyakan busana yang dipakai para abdi dalem perempuan yang memakai Kemben, padahal dalam ajaran Islam memperlihatkan bagian tubuh tersebut dilarang. Sementara Indonesia mayoritas agamanya adalah Islam dan Keraton Yogyakarta sendiri adalah kerajaan yang notabenenya mengarah ke Islam.

"Dari situ saya jelaskan, bahwa itulah Indonesia yang lebih menghargai kebudayaan asli bangsanya. Dan tentunya di Yogyakarta yang lebih menghargai keberagaman," katanya.

Sementara itu, salah satu dari jurnalis muda tersebut yang sempat berbincang-bincang dengan Tribun Jogja mengungkapkan, bahwa kebudayaan di Indonesia khususnya di Jawa memiliki perbedaan dengan di negaranya. Menurutnya, nuansa kulturasi budaya sangat terasa dilihat dari adanya berbagai situs keagamaan yang dapat selaras dengan modernisasi.

Terlebih saat mengunjungi Candi Borobudur, mereka mengaku takjub dengan relief-relief yang terpahat di dinding-dindingnya.

Selain di Candi Borobudur, mereka juga diajak ke menikmati Sunrise, Candi Mendut, Candi Pawon, dan Desa Wisata. Keberadaan mereka di Indonesia sejak Kamis (6/10) kemarin di Yogyakarta kemudian ke Magelang hingga Minggu .

Magelang Perlu Wisata Ekslusif


MAGELANG,  – Minimnya obyek wisata di Kota Magelang yang memiliki standar keamanan, kenyamanan, dan nuansa berbeda, membuat sejumlah pelaku usaha di bidang perhotelan di Kota Magelang hingga kini masih kebingungan untuk memenuhi permintaan para wisatawan baik wisman (wisatawan mancanegara) maupun wisnus (wisatawan nusantara) yang singgah di Kota Magelang.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI), Kota Magelang, Edy Hamdani, Jumat (10/2). Edy mengatakan, walaupun Kota Magelang adalah kota kecil, sebenarnya banyak potensi wisata yang apabila dikelola dengan serius akan mampu menarik wisatawan. Antaralain wisata kuliner, wisata Kota Tua, wisata sejarah (museum), dan lain-lain.
“Sebenarnya pusat kuliner di Magelang cukup banyak yang bisa dikembangkan, maka memang perlu dilokalisir sehingga apabila ada tamu dari luar daerah bisa mudah mencari kuliner-kuliner khas Magelang,” katanya.
Selain kuliner, lanjutnya, terdapat wisata kota lama. “Pernah ada tamu di tempat saya (Hotel Wisata), minta diantarkan ke kawasan pasar tradisional. Dia sehari penuh hanya muter-muter di pasar itu. Kareana kebetulan dia adalah aslinya orang Magelang kemudian tinggal lama di luar daerah, jadi ingin bernostalgia,” ujar Edy.
Edy mengatakan, keberadaan Gunung Tidar yang merupakan satu-satunya gunung di Indonesia yang ada di tengah kota yaitu di Kota Magelang, seharusnya memberikan peluang pengembangan wisata yang luar biasa.
Gunung Tidar kalau dikelola baik, itu menjadi sangat luar biasa. Karena selain wisata ziarah, juga bisa digunakan untuk wisata ekslusif, sehingga kebersihannya terjaga. Mungkin di puncak bisa ditambah fasilitas lebih. Tapi tentunya semua tergantung kejelian pemerintah dan keterbukaan masyarakatnya,” katanya.
Menurutnya, potensi wisata ekslusif Gunung Tidar tersebut merupakan salah satu bentuk ide dari para pelaku usaha di bidang pariwisata. Tentunya, kata Edy, semuanya akan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan masyarakat Kota Magelang sendiri.
Asisten Manager Hotel Puri Asri, Jimmy Sastro Wijoyo, mengatakan, selama ini, tamu yang menginap di hotelnya rata-rata hanyalah pengunjung Candi Borobudur dan Pawon. Hingga kini, pihaknya juga mengaku kebingungan untuk mengantarkan tamu-tamunya.
“Kalau memang ada wisata bagus di Kota Magelang, seharusnya pemerintah harus gencar melakukan promosi. Selama ini sepertinya pemerintah masih kurang promosi, jadi memang kita masih bingung lari ke mana,” ungkap Jimmy.
Jimmy juga mengatakan, selama ini, memang banyak tamu yang menginap di Puri Asri, kemudian tertarik keliling wilayah Kota Magelang terutama sekitar Kota Tua. Namun, inisiatif tersebut merupakan kreatifitas pihak hotel sendiri, tanpa ada informasi yang diperoleh dari pemerintah. Berbeda dengan pengelolaan wisata seperti di kota Semarang dan Yogyakarta yang benar-benar ada perhatian khusus.
Menurutnya, keberadaan Gunung Tidar merupakan potensi yang berbeda dengan tempat-tempat lainnya karena lokasinya berada di tengah kota.
Seandainya itu dijadikan tempat wisata khusus, memang sangat bagus sekali. Tapi juga harus ada kerjasama antara pemerintah dan pihak travel agent yang serius, agar Magelang benar-benar hidup wisatanya,” katanya.(had)

Pengamen Alun-alun Magelang Mulai di Rapikan

MAGELANG, - Petikan gitar, kentrung, dan suara kendang dipadukan dengan berbagai alat musik lainnya yang dimainkan musikus jalanan atau pengamen terdengar jelas di sekitaran alun-alun Kota Magelang sebelah utara. Dari alunan musik, lagu dan ditambah satu orang yang nampak asik berjoget terlihat bahwa mereka sedang memainkan jenis musik Dangdut.

Mereka yang biasanya bernyanyi di hadapan para penikmat kuliner di tenda-tenda di sekitaran alun-alun tersebut, oleh Pemerintah Kota Magelang dilakukan penataan dan pembinaan. Mereka tak lagi mendendangkan musik dengan berkeliling, namun teah ditempatkan pada panggung sederhana dengan
tenda ukuran lima kali lima meter. Panggung tersebut disediakan khusus bagi pengamen tersebut untuk menyampaikan bakat musiknya.

Ini merupakan salah satu uji coba rencana Pemkot Magelang untuk melakukan penataan PKL khususnya yang berada di alun-alun. Selain melokalisir PKL dan menyeragamkan dengan memberikan tenda, pengamen yang berada di sana pun ikut dibina.

Rabu (4/4) kemarin, mereka sedang menjajal fasilitas baru tersebut. Selain itu, ini merupakan bagian dari upaya pemkot untuk melakukan pembinaan dan peningkatan skill para pengamen dengan memberikan pelatihan selama tiga hari sejak Senin (2/3) lalu. Setelah mendapat berbagai materi dihari pertama, dua hari berikutnya mereka diajak untuk praktek dengan unjuk kebolehan memamerkan kemampuan dengan alat musik baru dan seragam baru berupa rompi batik yang diberikan pemkot.

Koordinator kelompok Seniman Kreatif Super (Seniper), Vatri (21) yang juga warga Jaranan, Rejowinangun Utara,  mengatakan, dengan dilakukannya pengaturan pengamen ini justeru terlihat nampak rapi dan tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk berkeliling ke meja-meja PKL. Selain itu, saat bermain musik dan menyanyikan lagu juga merasa puas, sementara pengunjung tidak merasa terganggu.

“Kita merasa kreatifitasnya diwadahi. Dan senang sekali bsia diwadahi seperti ini. Selain itu keamanan juga terjamin oleh pemerintah. Kalau sebelumnya kan kita selalu kucing-kucingan dengan Satpol PP kalau ada operasi. Gitar kita disita kalau tertangkap. Kalau sekarang kan ga lagi,” ungkap Vatri.

Kelompoknya yang diberinama Seniper ini, mampu memainkan ratusan lagu dari semua jenis, baik pop maupun dangdut. Bahkan juga mampu mengolaborasikan dari pop menjadi irama dangdut.

Pada pelatihan atau pembinaan ini, dikuti sekitar 30 orang peserta. Mereka diberikan materi dasar berupa motivasi perilaku komunikasi yang baik, wawasan kebangsaan, ketertiban, keindahan, kreatifitas dalam seni dan entertaimen, mental, disiplin dan lain-lain. Mereka praktik di lapangan (alun-alun) dari tanggal 3-4 April 2012.

Kepala Disporabudpar, Edi Wahjanto mengatakan, pelatihan tersebut sebagai bagian dari pembinaan untuk para pengamen. Karena hingga hari ini masyarakat masih ada yang beranggapan bahwa pekerja seni tersebut kurang baik. “Ini juga bagian dari pembianaan. Tapi lebih ke pembekalan-pembekalan. Harapanyaa wawasan mereka jadi lebih terbuka,” katanya.

Wakil Satgas PKL, Hartoko mengatakan, para pengamen ini juga difasilitasi alat musik dan soundsystem, dan seragam. Jadi selain musiknya enak didengar, penampilan mereka juga elegan. Selain itu, nantinya ada 20 orang pengamen yang akan di tempatkan di kawasan alun-alun dan akan ditempatkan pada dua tenda. Dari jumlah tersebut, nantinya akan dibagi menjadi empat grup dan akan dibagi dibagi dalam dua shift. Empat grup tersebut, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang membawakan musik dangdut dan campur sari, dan kelompok lainnya akan membawakan lagu reggae dan pop.

"Masing-masing kelompok terdiri dari dua grup. Pembagian ini berdasarkan selera bermusik mereka," tandasnya.

Setelah menjalani pelatihan selama tiga hari, lanjut Hartoko, mereka akan langsung diterjunkan dan bisa menghibur masyarakat. Namun pihaknya akan terus melakukan pendampingan. Rencananya, pihaknya akan terus memberikan pelatihan dua kali seminggu.

"Itu untuk mengasah kemampuan bermusik mereka, nanti kita akan koordinasikan dengan pihak terkait," katanya.

Kemudian untuk pengumpulan uang yang diberikan oleh pengunjung, untuk sementara Pemkot menyediakan kotak khusus sebanyak 10 kotak yang ditempatkan di beberapa titik yang ada di sekitaran tenda PKL, termasuk beberapa kotak ditempatkan di dekat panggung. Namun, untuk metode pembagian uang tersebut, pihaknya masih melakukan pengkajian, karena saat ini masih dalam rangka uji coba.(had)

Gerebeg Gethuk Kota Magelang 2012

Wali Kota Ikrarkan Program Kota Sejuta Bunga




MAGELANG, TRIBUN - Ribuan warga Kota Magelang memadati Alun-alun untuk menyaksikan prosesi Budaya dan Gerebek Gethuk, sekaligus berebut dua gunungan gethuk yang menjadi simbol kota ini, Minggu (15/4). Prosesi tahunan yang disebut pesta rakyat ini merupakan rangkaian kegiatan peringatan hari jadi Kota Magelang yang ke 1106 tahun 2012.

Prosesi Grebeg Gethuk sendiri dimulai pukul 10.45 hingga 11.25, diawali dengan kirab oleh Wali Kota Magelang beserta jajarannya dari Masjid Kauman menuju Alun-alun. Sebelumnya, juga ditampilkan berbagai kesenian tradisional kolosal antaralain Tari Laskar Tidar, Tari Undhuk dan Orkes Klunthung Topeng Ireng.

Kemudian disambung dengan upacara peringatan hari jadi menggunakan bahasa Jawa.
Pada tahun lalu, Wali Kota beserta Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) dikirab menggunakan kereta kencana yang disewa dari Keraton Yogyakarta, namun untuk tahun ini, prosesi tersebut diganti dengan penampilan Sendratari Mentiasih Dumadine Kutha Magelang.

Dalam kesempatan tersebut, Wali Kota, Ir Sigit Widyonindito juga berikrar dan mencanangkan Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga ditandai dengan pemukulan gong. Pemukulan itu juga sekaligus membuka Gerebeg Gethuk. Dua gunungan gethuk yang telah dipersiapkan di depan panggung kehormatan, secara serentak ribuan masyarakat yang hadir langsung berebut gethuk tersebut.

Kepala Disporabudpar Kota Magelang, Edi Wahjanto, mengatakan bahwa prosesi ini memang sekaligus sebagai bentuk pencanangan kota sejuta bunga. Hal itu dapat diketahui selama prosesi, pihak panitia membagikan sekuntum bunga mawar merah kepada tamu undangan, dan seluruh pemain yang terlibat dalam prosesi ini.
“Tadi telah dibacakan Ikrar yang berisi bahwa Kota Magelang sudah mulai masuk tahapan awal atau persiapan menjadi kota sejuta bunga. Jadi mulai hari ini (kemarin_Red) juga, kita sudah mulai bersiap-siap untuk terus maju ke depan,” katanya.

Memang, untuk mencapai target program Kota Sejuta Bunga harus melalui berbagai tahapan -tahapan pembangunan, secara jelas tertuang dalam rencana strategis pada perencanaan pembangunan secara bertahap mulai 2011-2015. Tahap pertama adalah persiapan, kedua pencanangan, pada 2013 pemkot masuk tahap magelang menata dan menghias. Kemudian untuk tahapan selanjutanya, adalah magelang berkesan, sedangkan tahapan terakhir magelang menarik. Pada tahapan ini rencananya akan ada kegiatan Magelang Visit Years 2015.

Edi mengatakan, untuk mencapai program tersebut memang tidak mudah, banyak kendala yang dihadapi. Yaitu peran media massa untuk terus mensosialisasikan arti dari program tersebut. Agar bukan hanya sekadar slogan saja, tapi juga benar-benar menjadi kota yang rapi, bersih, aman dan tertib.

Ia juga menegaskan, bahwa prosesi Budaya Gerebeg Gethuk ini rencananya akan ditetapkan sebagai wisata budaya. Namun yang terpenting adalah masyarakat bisa memahami makna prosesi gerebeg itu sendiri. “Pada saat ada even international hease nanti, kita juga akan upayakan untuk mempromosikannya, dan sasaran kita adalah wisatawan asing,” katanya.

Selain Gerebeg Gethuk, pada Minggu kemarin juga digelar Batik Karnival dan Kirab Budaya. Dalam karnival tersebut, Puteri Indonesia Pariwisata 2011, Andi Tenri Hanum Utari Natassa, atau Andi Natassa didaulat menjadi ikon batik Magelangan ini. Ia memakai busana Batik Magelang dan berdiri di atas sebuah mobil  terbuka yang dihias dengan berbagai macam bunga taman, dan diikuti puluhan peragawati.

“Selama ini kan batik magelang belum begitu populer. Maka dengan menghadirkan Puteri Indonesia ini diharakan nantinya bisa dikenal masyarakat luas,” imbuh Edi Wahjanto.

Dalam proses Batik Karnival dan Kirab Budaya, nampak ribuan masyarakat Magelang memadati sepanjang Jalan yang dilalui. Peserta kirab budaya sendiri, diikuti oleh sebanyak 29 peserta  dengan jumlah total sebanyak 1.500 orang penampil. Demikian jumlah total dalam kegiatan Prosesi Budaya dan Gerebeg Gethuk yang terlibat sebanyak 2.500 seniman penampil.(had)

Mbilung Ingin Kembalikan Sejarah
Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang, Condro Bawono atau akrab dipanggil Mbilung Sarawita mengatakan, prosesi Gerebeg Gethuk yang menghadiurkan dua gunungan gethuk itu sedikitnya menghabiskan bahan sebanyak 150 kilogram. Gunungan tersebut dibuat oleh para seniman rupa Magelang Art Potpourri, sejak Sabtu (14/4) malam.

Mbilung mengakui, bahwa konsep yang digunakan untuk prosesi gerebeg kali ini jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut nampak jelas terletak pada prosesi kirab kereta kencana. Namun wali kota beserta jajarannya hanya berjalan kaki dari Masjid Kauman menuju panggung kehormatan. “Sebelumnya sudah kita komunikasikan dengan Komisi C dan Ketua DPRD, semuanya telah menyetujuinya. Jadi tidak ada masalah,” katanya.

Menurutnya,  Kota Magelang dalam sejarahnya bukanlah kerajaan melainkan tanah Perdikan. Maka dengan menghilangkan prosesi kirab wali kota dengan kereta kencana adalah sebagai bentuk pengembalian sejarah. “Jadi tidak tepat wali kota berperan sebagai raja seperti tahun-tahun sebelumnya. Kita mencoba mengembalikan seperti yang dilakukan oleh pak Wali Kota Sukadi (1994-1999),” katanya.

Perbedaan lainnya adalah tidak adanya proses penancapan paku tidar oleh Syekh Subakir. Menurut Mbilung, prosesi tersebut sengaja dihilangkan dan diganti penampilan Sendratari Mentiasih yang memiliki arti Dumadine Kutha Magelang (berdirinya Kota Magelang). Ia mengaku puas dengan proses acara yang berjalan lancar dan tepat waktu.

Sementara itu, Gepeng Nugroho, seniman muda berbakat yang tahun sebelumnya menangani Gerebeg Gethuk, enggan berkomentar banyak. “Memang secara keseluruhan dan konsep pertunjukan mulai membaik dari sisi artistiknya. Tapi untuk hal sejarah, biarlah mereka beralibi,” cetusnya.

Seniman senior Magelang, Mualim M Sukethi saat ditemui di tengah alun-alun mengatakan, memang masyarakat Magelang hingga saat ini masih haus hiburan. Sehingga berbagai even besar yang digelar selalu menjadi perhatian. Adanya panggung besar di tengah alun-alun yang sebelumnya digunakan untuk penampilan Sendratari Mentiasih, alangkah baiknya seusai prosesi gerebek dimanfaatkan untuk pementasan musik anak-anak muda.

“Padahal sudah disewa mahal tapi hanya digunakan untuk pementasan saja setelah itu selesai. Kalau itu dimanfaatkan untuk penampilan komunitas-komunitas musik di Magelang hingga semalam suntuk, pasti Magelang akan terlihat semarak,” tandasnya.




Ia juga mengkritik setting tenda dan panggung yang diterapkan dalam prosesi gerebek tahun ini. Menurutnya, setting yang diterapkan dipastikan tidak akan bagus ditangkap oleh kamera. “Setting yang ada ini sangat susah apabila ingin mengambil ikon kota ini entah itu water torn maupun patung P Diponegoro,” ungkap pegiat film yang juga berprofesi sebagai sutradara di ibukota ini.(had)

MAGELANG KOTA BUNGA



Hal itu diungkapkan Seniman Kontemporer muda berbakat di Magelang, Gepeng Nugraha. Menurutnya, banyaknya sebutan untuk kota ini dinilai tidak memberikan hasil maksimal karena tidak terfokus pada satu tujuan.

“Magelang mau dibranding jadi kota apalagi? Tag line nya kok berubah-ubah. Ada Magelang Kota Harapan, ada Magelang Kota Jasa. Sekarang malah ada lagi Magelang Kota Sejuta Bunga. Ini apa lagi?” katanya, Sabtu (7/4) malam.

Gepeng mengatakan, berbagai branding terus digencarkan namun tidak ada yang mencapai hasil. Alangkah baiknya, katanya, Pemkot Magelang memfokuskan permasalahan yang masih menjadi garapan dan tak kunjung ada penyelesaian, yakni Pasar Rejowinangun.

“Wali Kota nya terlalu lebay dan feminim. Wong dapur kotanya saja belum ngebul kok sudah mbangun taman. Malahan juga mbangun Pendopo Rumah Dinas Wali Kota. Alangkah baiknya pasar juga dipikirkan,” ujarnya.

Presiden BEM UMM, Tasrifan, lebih setuju jika Pemkot Magelang memprioritaskan pembangunan pasar yang terbakar 26 Juni 2008 lalu tersebut. “Harusnya selesaikan Pasar Rejowinangun, yang sampai sekarang juga belum berdiri. Nah kalau sudah selesai. Baru melangkah ke selanjutnya,” katanya.

Tasrifan menganggap konsep Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga belum memiliki kejelasan. “Kami belum tau, apa sebenarnya keinginan dari Wali Kota soal Kota Sejuta Bunga. Apakah di Kota Magelang ini akan ada bunga dengan jumlah sejuta, atau bagaimana? Mestinya bisa disosialisasikan ke masyarakat secara jelas biar tidak kabur,” tuturnya.

Wali Kota Magelang dalam Sarasehan Kota Sejuta Bunga di Aula Bappeda Kota Magelang awal pekan lalu mengatakan, bahwa menciptakan branding Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga tidaklah mudah seperti membalikkan tangan, butuh upaya serius agar hal tersebut bisa terwujud sesuai harapan.

“Program ini merupakan salah satu bentuk layanan bagi para pengguna jasa di Kota Magelang. utamanya untuk menunjang Kota Magelang agar bersih, indah, tertib serta nyaman,” ungkap Sigit.

Ia mengatakan, tahapan-tahapan pembangunan terkait dengan program kota sejuta bunga, secara jelas tertuang dalam rencana strategis pada perencanaan pembangunan secara bertahap mulai 2011-2015. Tahap pertama adalah persiapan, kedua pencanangan yang rencananya akan dilaksanakan bersamaan dengan grebek getuk menyambut hari jadi Kota Magelang ke 1106 tahun 2012, pada 2013 pemkot masuk tahap magelang menata dan menghias.

Kemudian untuk tahapan selanjutanya, adalah magelang berkesan, sedangkan tahapan terakhir magelang menarik. Pada tahapan ini rencananya akan ada kegiatan Magelang Visit Years 2015.(had)
Kalangan masyarakat mempertanyakan branding Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga. Mengingat sejak branding tersebut digencarkan Wali Kota Magelang, Ir Sigit Widyonindito, namun hingga hari ini belum ada perubahan secara signifikan, meski telah dilakukan beberapa pembangunan fisik di kota ini.

Sunan Kali Jaga

Lir-ilir, Lir Ilir 

Tandure wus sumilir 
Tak ijo royo-royo 
Tak sengguh temanten anyar

Cah Angon, Cah Angon 
Penekno Blimbing Kuwi 
Lunyu-lunyu penekno 
Kanggo Mbasuh Dodotiro

Dodotiro Dodotiro 
Kumitir Bedah ing pinggir 
Dondomono, Jlumatono 
Kanggo Sebo Mengko sore

Mumpung Padhang Rembulane 
Mumpung Jembar Kalangane 
Yo surako surak Iyo.
Kurang lebih artinya seperti ini:

(Ilir-ilir,
ilir-ilir…
tanamannya sudah berkembang/bersemi..
tampak menghijau ibarat pengantin baru..

anak gembala,
anak gembala..
panjatlah blimbing itu..
meski licin panjatlah, buat mencuci kain

kain,
kain…
yang sedang robek pinggirnya..
jahitlah dan tamballah untuk menghadap nanti sore..
semampang bulan terang-benderang
semampang lebar tempatnya…)
Makna Tersirat :
Ayo bangkit Islam telah lahir,
Hijau sebagai simbol agama islam kemunculannya begitu menarik ibarat pengantin baru,
Pemimpin yang mengembala rakyat kenalah islam sebagai agamamu,
Ia ibarat belimbing dengan lima sisi sebagai lima rukun Islam,
Meskipun sulit dan banyak rintangan sebarkanlah ke masyarakat dan anutlah,
Guna untuk mensucikan diri dari segala dosa dan mensucikan aqidah,
Terapkanlah islam secara kaffah sampai ke rakyat kecil (pinggiran),
Perbaikilah apa yang telah menyimpang dari ajaran Islam untuk dirimu dan orang lain guna bekal kamu di akhirat kelak,
Mumpung masih hidup dan selagi masih diberikan kesempatan untuk bertobat,
Dan berbahagialah semoga selalu dirahmati Allah
Lagu “ilir-ilir” sangat familiar kalau di lingkungan pesantren. Kaset lagu seperti itu -lagu sholawat berlanggam Jawa dengan diiringi gending/gamelan- sangat mudah ditemukan di sekitar Mesjid Sunan Ampel (Surabaya), area pemakanan Sunan Giri (Gresik), dan area pemakaman Sunan Bonang (Tuban).
Di era 90-an, lagu ini dipopulerkan kembali oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan aransemen musik Kyai Kanjeng. Jika diamati musiknya, lagu Jawa tersebut sangat mirip dengan lagu Arab, “Ya Toyyiba” yang kemudian diplesetkan menjadi “Bang Toyib” oleh para pedangdut komersial.
Dalam berbagai literatur sejarah, lagu ini digubah, diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengandung pesan/makna tentang asal-usul dan tujuan hidup. Memberikan rasa optimis kepada orang yang melakukan amal kebaikan demi hari akhir, karena kesempatan di dunia harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan (“Sejarah Sunan Kalijaga”, Dr. Purwadi).
Tapi, saya punya asumsi lain akan makna lagu tersebut. Nyanyian yang sering dipakai oleh anak-anak kecil di kampung sewaktu bermain di bawah terangnya bulan purnama di jaman dulu kala ini bermakna filosofis yang sangat mendalam, yakni terhadap kemajuan dakwah (pengislaman masyarakat Jawa) yang dilakukan oleh Wali Songo.
Lir-ilir, lir-ilir
Lagu “Ilir-ilir” -dalam pemaknaan saya- lebih merupakan sinyalemen keberhasilan dari Sunan Kalijaga terhadap dakwah yang dilakukan oleh para wali di tanah Nusantara. ‘Ijo‘ adalah simbolisasi Islam. ‘Sumilir‘ bermakna bersemi, bersemai, sedang mekar, berkembang. ‘Temanten baru‘ bernilai cerah-ceria, ghirah, bersemangat, antusias, mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa seperti seyogyanya kesenangan, keriangan, kegembiraan yang dialami oleh orang yang baru menikah. Jadi, paragraf pertama dari lagu “Ilir-ilir” tersebut lebih bermakna potret keberhasilan dakwah nilai-nilai Islam dalam masyarakat Jawa oleh para Wali Songo.
tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi.
Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
‘Bocah angon‘ bermakna para penggiat nilai-nilai Islam, juru dakwah dan simpatisannya. ‘Penekna’ berarti raihlah, dapatkan, capailah. ‘Blimbing’ memiliki bentuk bintang (lima) di ujungnya, merupakan simbolisasi Islam. ‘Lunyu-lunyu‘ berarti keadaan yang sangat sulit, tapi harus tetap dilakukan. ‘Mbasuh‘ artinya menyebarkan, mengembangkan, memperluas dakwah. ‘Dodotiro‘ makna harfiahnya kain, tapi dalam pemaknaan saya itu kekuasaan status quo (dalam hal ini Kerajaan Majapahit). Jadi, paragraf kedua ini bermakna ajakan bagi para penggiat Islam untuk menyebarkan, memperluas dakwah nilai-nilai Islam di bumi Majapahit, walaupun tantangannya sangat berat.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir.
Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
Dodotiro, kumitir bedah ing pinggir‘, maknanya Kerajaan Majapahit sedang goyah, rapuh, mendekati keruntuhan, kehilangan kesatuan dan persatuan, lemahnya kepercayaan dari negeri-negeri bawahan. ‘Dondomana, jrumatana‘ berarti perbaikilah, masukilah dengan nilai-nilai Islam. ‘Seba mengko sore‘, maknanya demi keberhasilan menegakkan agama-agama Illahi. ‘Mumpung padhang rembulane’, berarti semampang kesempatan sangat terbuka, opurtunity bagus, dan Demak di belakang gerakan dakwah tersebut. ‘Mumpung jembar kalangane‘, bermakna semampang prospektif, potensinya sangat terbuka/sangat bagus, masyarakat welcome. Jadi, pargraf ketiga ini menjelaskan opurtunity, peluang, kesempatan secara geopolitik untuk lebih membesarkan agama Islam.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo.
Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
So, “Ilir-ilir” secara garis besar bermakna ajakan, seruan, mobilisasi bagi para juru dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengembangkan nilai-nilai Islam di bumi Nusantara. Boleh dibilang, “Ilir-ilir” adalah lagu politis -berbasis geopolitik- pada saat itu.
Benarkah? Wallahu’alam bi ash showab. Interpretasi, pemaknaan sejarah sah-sah saja untuk memperkaya sejarah itu sendiri